Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri dalam sistem pertanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui. Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan. Pertanian modern juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut : kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya adalah menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Sach, 1987 dalam Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).
Dalam rangka memasuki revolusi hijau kedua ini kita belajar dari kenyataan bahwa teknologi maju dan mahal akan memproduksi barang yang mahal pula termasuk makanan. Pengkajian kembali teknologi yang tidak hanya berorientasi kepada penggunaan energi secara maksimal dan intensif akan tetapi juga berusaha menerapkan low input sustainable agriculture (LISA). Untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya, dua tujuan harus tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di lain pihak yang memerlukan langkah terobosan di bidang penelitian (Tiharso, 1992).
Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.